Ajaran Hindu yang masuk ke bumi Nusantara seiiring dengan pertumbuhan budaya kerajaan di awal abad 1 masehi berakar pada sekte ajaran Shaiva-Siddhanta (aliran yang menginduk pada ajaran Maha Rsi Agastya). Penyebaran aliran ini dibawa oleh salah satu murid utama Maha Rsi yang bernama Trinawindu (yang kemudian disebut dalam bahasa lokal menjadi Bhatara Guru atau Eka Pratama).
Berbeda dengan beberapa Shaivism lainnya, Shaiva-Siddhanta merupakan kesimpulan/intisari dari ajaran-ajaran Shaivism yang memiliki cakupan yang sangat luas.
Dalam mempelajari/membahas kitab-kitab Weda sebagaimana dituliskan oleh Sapta Maha Rsi yang berjumlah sangat banyak (kemudian disusun secara lebih sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk yang dikenal sekarang sebagai Catur Weda), Shaiva-Siddhanta juga hanya mengambil intisari bagian-bagian pokok dari keseluruhan kitab -kitab Weda yang ada. Intisari pemahaman kitab Weda tersebut, yang kemudian menjadi "frame" pemahaman ajaran Hindu versi sekte Shaiva-Siddhanta adalah Tattwa, Susila dan Upacara.
Hindu Bali
Perkembangan ajaran Hindu di bumi Nusantara mengalami pergeseran (evolusi) nilai dari induk ajaran nya, hal ini sangat lazim terjadi dalam tubuh ajaran Hindu, mengingat Hindu bukanlah sebuah ajaran yang mengikat ketat pada dogma induk ajaran namun memberikan kebebasan pada penganutnya untuk mengaplikasikan "frame" ajaran tersebut dalam tata budaya dan pemahaman masing-masing penganutnya.
Pergeseran ini dapat terlihat dengan sangat jelas pada peninggalan artefak sejarah pengaruh budaya Hindu sejak masa awal masehi hingga akhir masa kerajaan Hindu di tanah Jawa.
Demikian halnya di Bali, berikut sekilas perkembangan nilai dan tradisi ajaran Hindu di Bali yang terbagi menurut penggagas/guru dan ajaran-ajarannya:
A. Bali Kuno
Danhyang Markandeya
Dapat dikatakan bahwa beliau adalah penggagas dasar-dasar ajaran dan ritual ajaran Hindu Bali.
Dalam perjalanan spiritualnya dari gunung Hyang (diperkirakan sekitar Dieng, sekarang) beliau mendapatkan "wahyu" untuk menuju kearah timur Dawa Dwipa (pulau panjang, dimana Bali dan jawa masih menyatu) untuk membuka dan mendirikan pemukiman dan tempat suci disebuah tempat yang disebut Wasukih (Besakih sekarang).
Untuk melindungi pengikutnya dari bala halangan yang mengganggu, beliau melakukan ritual penanaman Panca Datu (yang terdiri dari emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah) pada bangunan Palinggih (singgasana dimana dipercaya Tuhan hadir pada saat ritual puja dilaksanakan).
Di lokasi inilah beliau mengajarkan konsep ketuhanan yang tunggal dengan sebutan Sang Hyang Widhi yang diwujudkan dalam bentuk ritual Surya Sewana (melakukan puja matahari) dengan menyertakan bebali (persembahan) sederhana berupa air, api dan bunga yang berbau harum.
Ajaran beliau kemudian yang selalu menyertakan bebali dalam ritualnya kemudian dikenal dengan nama ajaran bali yang kemudian terus berkembang dan menyebar luas sehingga di kemudian hari menjadi nama pulau Bali.
Mpu Sangkul Putih
Murid Danhyang Markandeya ini melanjutkan ajaran sang guru dengan memberikan warna/variasi pada bentuk bebali yang ada dengan menambahkan dekorasi yang menarik dan beragam sesuai dengan tujuan bebali itu disajikan dari berbagai jenis dedaunan, buah-buahan, biji-bijian dan lain-lain sebagai ekspresi mengagungkan Sang Hyang Widhi.
Beliau juga mempelopori pembuatan arca (pralingga) dewa-dewa sebagai media yang membantu umat untuk memfokuskan konsentrasi dalam melakukan puja demikian pula dengan enetapan hari-hari penting ajaran Hindu Bali, seperti: Galungan, Kungingan, Pagerwesi, Nyepi dan lain-lain.
Dalam konteks pengaturan bermasyarakat, tata pimpinan yang diperkenalkan beliau adalah jabatan Dukuh, Prawayah dan Kabayan.
B. Hindu Bali
Perkembangan wilayah Bali yang semakin maju mengundang banyak pendatang untuk bermukim demikian juga paham-paham ajaran Hindu yang
beragam antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Shaiva-Shiddanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing penganut aliran-aliran tersebut sering terjadi bentrokan yang bermuara pada perbedaan visi yang menyatakan bahwa alirannya adalah yang paling benar. Konflik tersebut telah mengakibatkan kondisi politik dan keamanan juga terganggu.
Bagi mereka yang menganut ajaran Bali, kemudian mengisolasir diri membentuk komuniti yang dikenal sekarang sebagai Bali Aga.
Untuk menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan diantara para pemaham ajaran sekte-sekte ajaran Hindu dan pemahaman ajaran tradisi Bali tersebut, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa menilai perlunya dihadirkan para maha guru ajaran Hindu untuk menciptakan iklim sosial politik yang kondusif. untuk keperluan tersebut diundanglah 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1. Mpu Semeru, dari sekte Siwa
2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya
3. Mpu Kuturan, penganut agama Budha dari aliran Mahayana
4. Mpu Gnijaya, penganut Brahmaisme
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur 5 bersaudara, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah (kisah tentang beliau selanjutnya dikaitan dengan fenomena leak Dirah era Prabu Airlangga)
Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.
Mpu Kuturan
Sebagai yang ditunjuk untuk memimpin misi ini, Mpu Kuturan kemudian "meramu" paham-paham yang berkembang tersebut dalam sebuah pemahaman aliran yang kemudian dikenal dengan nama aliran Hindu Bali, dimana paham Tri Murti sebagaimana yang dipahami oleh sekte-sekte Hindu sebagai perwujudan Tuhan adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Aplikasi pemahaman hindu Bali ini diwujudkan dengan pembangunan sarana Pura Kahyangan Tiga di setiap desa adat pada setiap merajan sebagai pemujaan Hyang Widhi dalam bentuk:
• Pura Desa (Bale Agung) untuk memulikan Brahma sebagai perwujudan Hyang Widhi
• Pura Puseh untuk memuliakan Wisnu
• Pura Dalem untuk memuliakan Durga (shakti Siwa)
Juga pembuatan Kamulyan Rong Tiga disetiap pura keluarga
Untuk mengatur tatanan bermasyarakat yang semakin plural, Mpu Kuturan juga menciptakan sistem Desa Pakraman atau Desa Adat yang tetap diterapkan hingga saat ini
Mpu Jiwaya
Sebagai penganut paham Tantrik, beliau mengembangkan pemahaman yang berkaitan dengan nilai-nilai mistik (tenget) dan pasupati, proses memasukan kekuatan mistik pada berbagai benda pusaka, termasuk barong.
Danhyang Dwijendra
Pada akhir masa kerajaan Hindu di tanah jawa, Danhyang Dwijendra, yang dikenal juga dengan nama Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh memimpin penganut ajaran Hindu dari tanah majapahit untuk bermigrasi ke pulau Bali, mungkin tidak berlebihan kalau dikatan bahwa pemahaman ajaran Hindu Bali sebagaimana yang dikenal saat ini terlahir dari pemahaman beliau akan ajaran-ajaran Hindu (sekte Saiva-Siddhanta) dan tradisi yang membaur dalam masyarakat Bali.
Beliau mengajarkan pemahaman Tripurusa yang menempatkan Hyang Widhi dalam sebagai Siwa, Sadha Siwa dan Perama Siwa yang diwujudkan dalam bentuk bangunan pemujaan Padmasana (Padmasari).
0 comments:
Posting Komentar