Semua banten lambang diri kita (manusia), lambang Kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan Yadnya. Reringgitan dan tatuwasan (ukir-ukiran pada Banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan Yadnya. Raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuwan-ilmuwan sorga.
Dalam lima unsur tersebut, Yantra merupakan unsur yang ketiga. Banten adalah salah satu bentuk Yantra. Sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti yang dikutip di atas bahwa banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal. Namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal.
Jadi, banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Misalnya banten menurut Lontar Yadnya Prakerti adalah simbol ekspresi diri manusia. Misalnya banten peras dinyatakan lambang permohonan hidup untuk sukses dengan menguatkan Tri Guna (Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti). Ini artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai Sakti. Dalam pandangan umum masyarakat tentang pengertian Sakti sangat negatif.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sakti itu artinya mampu atau memiliki kemampuan, sedangkan dalam kitab Wrehaspati. 14 menyatakan sbb: Sakti ngarania ikang sarwajnya lawan sarwakarta. Artinya Sakti adalah orang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan dan orang yang banyak berbuat baik. Artinya kata Peras saja demikian luhur dan mulia artinya. Demikian juga reringgitan dan tatuwasan dinyatakan sebagai lambang kelanggengan melakukan yadnya.
Langgeng artinya ketetapan hati untuk melakukan yadnya. Karena dalam melakukan yadnya itu umumnya akan berhadapan dengan berbagai godaan-godaan seperti kehidupan yang lain pada umumnya. Hanya pengertian yadnya inilah umumnya diartikan upacara agama saja. Padahal yadnya ini adalah dapat dilakukan dalam wujud yang lebih nyata dalam melakukan perbuatan mulia dan luhur. Baik dalam rangka memuja Tuhan, mengabdi dengan sesama umat manusia maupun dengan memelihara kesejahtraan alam (Bhuta Hita).
Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan dijadikan rakan banten itu disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang Widyadara-Widyadhari. Kata Widya berarti ilmu pengetahuan dan Dhara artinya merangkul. Widyadhara artinya mereka yang mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan nyata. Ini artinya kalau rakan banten tersebut sebagai lambang Widyadhara-Widyadhari ini artinya buah-buahan dan berbagai jenis jajan itu mengandung makna agar rakan banten itu hasil sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Buah hasil kebun sendiri, jajan hasil kreasi sendiri. Hal itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten.
Membeli buah dan jajan untuk rakan banten tentunya boleh-boleh saja. Lebih-lebih zaman modern umumnya orang pada sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri sesuai dengan profesi masing-masing. Namun, penggunaan rakan banten itu bermaksud untuk menuntun umat manusia agar mengkreasi ilmu yang dikuasainya untuk diabdikan kepada Tuhan melalui wujud pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan.
Banten itu bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan. Banten itu adalah bahasa agama dalam bentuk simbol yang mona. Mona artinya diam. Banten itu memang diam sama dengan Aksara. Tetapi kalau kita coba ungkap dengan sabar, maka banten itu akan banyak menuturkan kita berbagai ajaran agama Hindu yang sesuai dengan konsep Weda dan kitab-kitab Sastranya. Lewat banten nilai Hindu dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati secara motorik.
0 comments:
Posting Komentar